suarapalabuhanratu.com – Sukabumi, Bagi para pecinta alam dan petualangan, Gunung Halimun-Salak tak ubahnya seperti mutiara tersembunyi di antara hutan hujan tropis yang masih perawan. Terletak di jantung Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kawasan ini menyajikan pengalaman mendaki yang tidak hanya menantang fisik, tetapi juga menyentuh sisi spiritual para pengunjung.
Dengan jalur pendakian yang dikelilingi kabut tipis dan pepohonan raksasa, Halimun-Salak menjadi tempat ideal untuk merasakan kedamaian alam yang nyaris tak tersentuh modernisasi. Di sinilah rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna langka, termasuk primata endemik khas Jawa Barat, owa jawa (Hylobates moloch), yang menjadi ikon konservasi di kawasan ini.
Nadia Pramudita (28), seorang pendaki asal Yogyakarta yang baru pertama kali menapakkan kaki di Halimun, tak bisa menyembunyikan kekagumannya:
“Saya sudah sering mendaki gunung, tapi Halimun itu beda. Di sini suasananya seperti hutan yang masih ‘perawan’, suara alamnya dominan banget. Pagi-pagi dengar suara owa jawa kayak disambut penduduk asli hutan,” tuturnya dengan mata berbinar.
Nadia juga mengungkapkan bahwa perjalanan menuju puncak memang penuh tantangan, namun justru itulah yang membuat setiap langkah begitu bermakna.
“Tantangannya ada, tapi pemandangan dan suasana hutannya membuat semua rasa capek terbayar. Ini bukan cuma soal naik gunung, tapi soal menyatu dengan alam,” tambahnya.
Pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sendiri terus mengimbau para pendaki untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Kami mengedepankan prinsip ekowisata, sehingga selain menikmati, para pengunjung juga berkontribusi terhadap upaya konservasi,” ujar Ibu Dewi Kartikasari, Humas TNGHS.
Gunung Halimun-Salak adalah bukti bahwa alam tak hanya bisa dikagumi dari kejauhan, tetapi juga bisa dipelajari, dijaga, dan dinikmati secara bertanggung jawab. Bagi siapa pun yang mendambakan ketenangan, petualangan, sekaligus pelajaran tentang keragaman hayati—Halimun adalah panggilannya.